![]() |
Sumedang, Jurnlisme.info-
Tenda-tenda biru itu berdiri rapat di depan PT Kahatex, menahan panas dan debu yang beterbangan dari lalu-lalang kendaraan. Di balik meja kayu yang mulai kusam, para pedagang menyebut angka kecil yang harus mereka bayarkan saban hari. Dari percakapan itulah pemerintah daerah mulai mengendus persoalan yang lebih besar daripada sekadar lapak di pinggir jalan.
Wakil Bupati Sumedang, Fajar Aldila, tiba di lokasi pada Selasa siang yang lengas. Ia berjalan pelan menyusuri deretan lapak, berhenti di beberapa pedagang yang tampak gugup. Dari mereka, mengalir cerita tentang setoran harian—uang receh yang dikumpulkan sejak pagi, diserahkan kepada seseorang yang mereka sebut sebagai pengelola tempat. Jumlahnya antara lima ribu hingga dua puluh ribu rupiah.
Di tengah deru kendaraan yang tak pernah padam, para pedagang itu hidup dari dagangan yang ditata sederhana: gorengan yang terus digoreng ulang, minuman dingin dalam kotak pendingin yang mulai berair, serta lauk rumahan yang ditawarkan kepada karyawan pabrik sekitar. Sebagian besar dari mereka bukan pedagang lama. Mereka adalah mantan buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja beberapa tahun terakhir—orang-orang yang kehilangan ruang kerja, lalu mencari ruang hidup di bahu jalan.
Pemerintah Kabupaten Sumedang menilai titik ini sudah terlalu padat. Bahu jalan, yang seharusnya menjadi ruang aman bagi pejalan kaki, menjelma pasar kecil dengan ritme yang tak pernah berhenti. Pada jam masuk dan pulang kerja, antrean motor dan mobil mengular panjang, tersendat oleh lapak yang menjorok ke badan jalan. “Kami harus memastikan ruang publik tetap berfungsi,” ujar Fajar, setelah mendengar keluhan sopir kendaraan logistik yang melintas.
Rencana penertiban pun disiapkan. Tidak langsung dengan pengerahan petugas, melainkan diawali dengan sosialisasi yang direncanakan berlangsung beberapa hari. Pemerintah memberi waktu bagi pedagang untuk menata diri, mencari tempat lain, atau sekadar merapikan lapaknya agar tidak lagi menghalangi lalu lintas. Bagi banyak pedagang, jeda itu terasa pendek. “Kami butuh waktu,” kata seorang pedagang, suaranya nyaris tenggelam oleh deru truk yang baru melintas.
Di antara tenda-tenda itu, waktu seakan menahan napas. Sebagian pedagang menghitung kemungkinan terburuk: lapak dipindahkan, penghasilan berkurang, atau bahkan harus gulung tikar. Sebagian lain hanya menatap jalan, berharap penertiban tak menghapus satu-satunya penopang ekonomi mereka. Uang receh yang disetorkan itu mungkin kecil, tetapi bagi mereka cukup untuk menentukan apakah dagangan bisa kembali dibuka esok hari.
Pemkab akan melibatkan Satpol PP, kepolisian, dan TNI dalam penataan tahap berikutnya. Pemerintah berjanji menjalankannya dengan cara yang “manusiawi”. Namun di lapangan, gesekan antara ketertiban kota dan nafkah warga kerap muncul tanpa aba-aba. Di depan Kahatex, dua kepentingan itu kini kembali berhadapan: ruang publik yang perlu dibersihkan, dan kehidupan kecil yang bertahan di bawah tenda biru.
(Dhs)

