Kinerja PTPN IV Regional 6 Membaik, Manajemen Sulit Meniti Jalan Damai Dengan SPBUN

 

Aceh - jurnalisme online | SPBUN PTPN I Regional VI menggulirkan isu tuntutan terhadap Manajemen Regional VI. Tuntutan ini dipicu oleh klaim adanya ketidakpuasan terhadap kebijakan operasional Region Head dan SEVP Operation PTPN IV Regional VI. Selanjutnya SPBUN menyusun dan menyampaikan Surat Pernyataan Bersama Pengurus SPBUN PTPN I Regional VI Aceh Tanggal 30 Mei 2025 yang berisi desakan pencopotan pejabat manajemen dengan alasan sebanyak 9 (sembilan) poin sebagaimana terlampir. Namun demikian, tidak terdapat dokumentasi yang menunjukkan bahwa SPBUN terlebih dulu menempuh jalur komunikasi bipartit atau mediasi internal dengan Manajemen Regional VI sebelum menyampaikan surat dan rencana aksi tersebut ke pihak eksternal.

Dalam hal ini, SPBUN melaporkan maupun menembuskan persoalan ke luar forum hukum yang ditentukan, antara lain:

Direktur Utama PTPN III (Persero)

Direktur Utama PTPN IV

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Gubernur Aceh

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.


Pada tanggal yang sama melalui surat Nomor 081/SPBUN/X/2025 Perihal Pelaporan dan Permohonan Klarifikasi Atas Pemberhentian SEVP BS PTPN IV Regional VI Aceh, SPBUN mengambil langkah yang bersifat eksternal dan agresif, yang dalam substansinya:

Melakukan pelaporan langsung tanpa melalui koordinasi dengan manajemen regional, kepada Direktur Utama PTPN III (Persero) dengan tembusan:

Menteri BUMN

Direktur Utama PTPN IV

Direktur Utama PTPN I

Gubernur Aceh

Ketua Komisi VI DPR RI

DPD RI Perwakilan Aceh

Ketua DPR Aceh

Ketua DPRK Langsa

Menggunakan dokumen pelaporan dan surat pengantar aksi sebagaimana terlampir, sebagai alat legitimasi untuk mendesak pencopotan pejabat, namun tanpa melalui proses klarifikasi, evaluasi objektif, atau dialog sosial internal.

Menginisiasi aksi massa dan mempersiapkan spanduk-spanduk tuntutan sebelum klarifikasi resmi digelar, memperkuat dugaan bahwa langkah-langkah tersebut lebih bersifat politis dan personal daripada substantif.

Dengan kata lain, pelaporan oleh SPBUN ke institusi eksternal dilakukan dalam konteks tekanan sepihak, bukan dalam kerangka penyelesaian hubungan industrial yang konstruktif, dialogis, dan proporsional sebagaimana mestinya.


Pengiriman Surat Sepihak 

Pada tanggal 31 Mei 2025, SPBUN PTPN I Regional VI mengirimkan surat nomor 083/SPBUN/X/2023 kepada Direksi Holding PalmCo, yang berisi desakan pencopotan dua pejabat Regional VI, yaitu:

Syahriadi Siregar (Region Head)

T. Zein Ichwan (SEVP Operation)


Surat tersebut tidak ditembuskan dan tidak dikoordinasikan terlebih dahulu kepada Manajemen Regional VI, walaupun pihak perusahaan menjadi objek tuduhan. Tindakan ini menunjukkan kurangnya etika kelembagaan dalam penyampaian aspirasi.

Selain itu, aksi SPBUN juga terindikasi memiliki motif kepentingan tertentu, mengingat momen desakan tersebut bertepatan dengan berakhirnya masa jabatan       T. Rinel sebagai SEVP Business Support, yang sebelumnya telah diberhentikan oleh Direksi. Indikasi ini diperkuat dengan kemunculan nama-nama calon pengganti yang justru mengarah pada figur-figur yang memiliki kedekatan dengan pihak tertentu dan tidak mewakili kader internal atau putra daerah. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa desakan pencopotan tidak semata-mata dilandasi oleh evaluasi kinerja, melainkan juga oleh agenda personal dan konflik kepentingan di balik struktur organisasi.


Manuver Politik Tanpa Klarifikasi (2 Juni 2025) Komisi I DPRA menggelar rapat dengar pendapat dengan SPBUN atas dasar surat tertanggal 31 Mei 2025, yang mana hal ini terasa janggal dan terlalu tergesa-gesa, mengingat substansi surat memuat tuduhan serius kepada manajemen, namun tidak disertai langkah komunikasi awal maupun klarifikasi langsung. Manajemen PTPN IV Regional VI sama sekali tidak dilibatkan atau diberi ruang untuk memberikan penjelasan atas tuduhan tersebut sejak awal, sehingga proses audiensi terkesan berat sebelah dan tidak menjunjung prinsip fairness dalam penyelesaian hubungan industrial.


Dari hasil rapat dengar pendapat DPRA dengan SPBUN, pada tanggal 10 Juni 2025 Gubernur Aceh menerbitkan surat rekomendasi nomor 500.15.13.1/6892, yang menyarankan pergantian tiga pejabat, bukan dua sebagaimana isi surat SPBUN. Surat tersebut keluar sehari sebelum pertemuan klarifikasi DPRA dan Manajemen PTPN IV Regional VI, sehingga menimbulkan dugaan kuat bahwa proses telah "diskenariokan" sebelumnya.


Pertemuan Klarifikasi Terlambat dan Tindakan Provokatif (11 Juni 2025)

Undangan klarifikasi dari Komisi I DPRA baru disampaikan kepada Manajemen PTPN IV Regional VI untuk menghadiri pertemuan pada tanggal 11 Juni 2025 bertempat di Balee Meusapat. Dalam forum tersebut, Manajemen Regional VI memberikan penjelasan secara terbuka, runtut, dan lengkap atas keseluruhan sembilan poin tudingan yang sebelumnya disampaikan oleh SPBUN. Sepanjang pertemuan, tidak terdapat sanggahan ataupun klarifikasi balik dari pihak SPBUN terhadap jawaban yang disampaikan manajemen.



Namun pasca selesainya pertemuan klarifikasi tersebut, SPBUN justru membentangkan spanduk berisi tuntutan pencopotan tiga pejabat Regional VI. Ironisnya, salah satu dari tiga nama yang dituntut untuk dicopot tersebut tidak tercantum dalam surat SPBUN sebelumnya, sehingga menimbulkan kesan bahwa aksi tersebut telah dirancang terlebih dahulu, terlepas dari substansi klarifikasi yang telah disampaikan secara resmi.


Surat lanjutan Gubernur tertanggal 14 Juni 2025 (Nomor 500.15.14.17/7150) mencantumkan nama-nama pengganti yang justru dinilai tidak relevan:

T. Rinel: Bukan putra daerah dan sudah diberhentikan dari Holding.

Fadli Amin: Telah pensiun per 1 Juli 2025.

Della Iskandar Kaban: Bukan putra daerah dan bukan kader internal.

Ifri Handi Lubis: Baru menjabat sebagai SEVP Business Support tapi ikut diminta diganti, menimbulkan kejanggalan.


PTPN IV melaksanakan kunjungan silaturahmi kepada Gubernur Aceh sebagai upaya memperkuat koordinasi dan sinergi dengan Pemerintah Daerah dan respons atas surat rekomendasi. Hal ini juga mengingat sebagian aset perusahaan berada di wilayah eks PTPN I di Provinsi Aceh. Kunjungan dilaksanakan pada tanggal 23-24 Juni 2025 di Kantor Gubernur Aceh, dengan agenda utama membangun komunikasi positif dan menyampaikan komitmen perusahaan terhadap stabilitas hubungan industrial dan keberlanjutan usaha di wilayah Provinsi Aceh, namun pelaksanaan kunjungan masih dalam proses penjadwalan ulang karena belum tersedianya waktu luang dalam agenda resmi Gubernur Aceh.


Pada tanggal 20 Juni 2025, SPBUN mengeluarkan Himbauan Bersama berbunyi antara lain “agar seluruh karyawan/unit untuk tidak melaksanakan kegiatan kerja operasional pada tanggal tersebut”, yang secara tidak langsung menegaskan kontrol dan pengaruh struktural yang dimiliki oleh SPBUN di seluruh unit. Namun dengan keinginan karyawan melalui surat pernyataan panen libur sukarela tanggal 22 Juni 2025 yang ditandatangi bersama oleh karyawan. Para karyawan berkeinginan tetap bekerja dalam rangka memenuhi target RKAP produksi. Upaya mengontrol kegiatan operasional perusahaan melalui himbauan yang dikeluarkan secara sepihak oleh serikat pekerja, tanpa persetujuan atau koordinasi dengan manajemen, merupakan tindakan di luar kewenangan dan tidak sah secara hukum. Hal ini mencerminkan intervensi sepihak terhadap operasional perusahaan yang seharusnya menjadi domain manajemen, dan dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan peran kelembagaan untuk tujuan tekanan, bukan kemitraan.


Kinerja Manajemen Justru Meningkat Di tengah konflik ini, PTPN IV Regional VI mencatatkan peningkatan kinerja operasional, bonus telah dibagikan, dan semangat kerja meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen saat ini bekerja profesional, responsif, dan sinergis.



Bahwa SPBUN adalah organisasi yang sah, namun penyampaian aspirasi harus sesuai koridor hukum dan etika hubungan industrial.


Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Serikat pekerja wajib menjaga hubungan harmonis, dinamis, dan berkeadilan, serta menjadi mitra strategis, bukan alat tekanan sepihak.


Klarifikasi dan perselisihan hubungan industrial seharusnya diselesaikan dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti Bipartit, Tripartit, dan gugatan Pengadilan Hubungan Industrial, bukan media atau lembaga politik.

Membangun komunikasi berkelanjutan antara manajemen dan serikat untuk menjaga stabilitas perusahaan.

Penyelesaian perselisihan industrial dilaksanakan melalui proses non-litigasi yang diawali dengan mekanisme bipartit. Adapun hal yang menjadi penyebab perselisihan yaitu perselisihan hak; kepentingan; pemutusan hubungan kerja (PHK); dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.

Penyelesaian melalui pihak lain (selain manajemen dan serikat pekerja) dapat dilaksanakan apabila upaya bipartit telah ditempuh namun tidak mencapai kesepakatan. Selanjutnya, para pihak dapat menempuh mediasi, konsiliasi, atau arbitrase yang difasilitasi oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebelum membawa perkara ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Konsolidasi karyawan di seluruh unit kerja guna dapat bekerja degan baik dan fokus dalam rangka pencapaian target RKAP

Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

نموذج الاتصال