Cahaya mas 14 mei 2025, Dulu, aku tidak pernah benar-benar memikirkan akan menjadi apa di masa depan. Dalam pikiranku, cita-cita itu adalah kemewahan. Yang lebih penting adalah bagaimana bisa bertahan hidup untuk hari esok—bisa makan, bisa tidur nyenyak, dan tidak menyerah pada kerasnya hidup. Kata “sukses” terasa begitu jauh, seolah hanya milik mereka yang terlahir dalam kenyamanan dan kelimpahan.
Aku tidak mengenal apa itu panggung politik, kekuasaan, apalagi strategi. Semua itu asing bagiku. Hidupku hanyalah tentang bertahan. Tapi takdir mempertemukanku dengan orang-orang yang senasib, yang juga berasal dari keluarga yang berbeda latar belakang—berbeda ayah dan ibu—namun kami disatukan oleh satu hal: tekad yang sama.
Kami memulai perjalanan ini dengan perlahan. Merangkak, bukan berlari. Tak jarang kami jatuh. Terperosok dalam lubang yang sebenarnya jelas-jelas dibuat oleh tangan orang lain. Tapi kami bangkit lagi. Selalu mencoba berdiri, meski dengan lutut gemetar dan hati penuh luka.
Ada kalanya kami tertawa getir ketika mendengar sindiran dari mereka yang merasa di atas, "Jangan pernah kau taburi duri di jalan yang sering kulalui." Kata-kata itu ringan di telinga, namun menusuk tajam di hati. Karena kami tahu, suatu saat, mungkin orang yang mengucap itu akan datang pada kami. Tanpa alas kaki. Tanpa pelindung. Lalu merasakan sendiri pedihnya duri yang pernah ia tanam.
Kami belajar dari setiap luka, setiap jatuh, setiap langkah yang sempit dan sulit. Dan kami berjanji, jika suatu hari kami mampu berdiri tegak, jalan yang kami tempuh bukan akan kami taburi duri. Melainkan batu-batu yang kami singkirkan, agar mereka yang datang setelah kami bisa berjalan dengan lebih mudah. ( Cak Supri )