Jurnalisme.info-Sumedang, 27 April 2025 — Langit cerah menaungi Alun-alun Sumedang saat ribuan warga memadati kawasan pusat kota. Di antara riuh sorak anak-anak, aroma khas makanan tradisional dari para pedagang kaki lima, serta gemuruh gamelan yang mengalun syahdu, prosesi Kirab Panji dan Mahkota Sumedang Larang digelar penuh khidmat.
Puncak peringatan Hari Jadi Kabupaten Sumedang ke-447 ini tak hanya menjadi ajang budaya, tetapi juga ruang rindu yang mempertemukan masyarakat dengan akar sejarahnya. Prosesi kirab yang dimulai sejak pukul 11.00 WIB, membawa Panji Kemaharajaan dari Kecamatan Darmaraja, melintasi Cisitu, Situraja, dan Ganeas, sebelum berakhir megah di Alun-alun.
Sementara itu, Mahkota Binokasih — pusaka sakral yang dipercaya sebagai mahkota tertua di tatar Sunda — telah menempuh perjalanan spiritual dari Ciamis sejak 19 April. Mahkota tersebut disambut secara estafet di tiap daerah yang dilalui, menciptakan jalinan budaya antarwilayah yang erat dan penuh makna.
“Luar biasa, saya merinding waktu Mahkota lewat di depan saya. Rasanya seperti melihat sejarah hidup,” ujar Jaris (39), warga Tanjungsari yang datang bersama keluarganya sejak pagi. “Anak saya sampai nanya terus itu mahkota siapa, dari mana. Ini pelajaran sejarah yang enggak bisa didapat dari buku.”
Acara turut dihadiri para pejabat dan tokoh penting, seperti Sekda Provinsi Jawa Barat Dr. Drs. Herman Suryatman, M.Si., Bupati Sumedang Drs. H. Doni Ahmad Munir, dan Letkol Kav Christian Gordon Rambu, M.Si. (Han.) dari Kodim 0610/Sumedang, serta para sultan dari keraton-keraton Cirebon. Warga juga bisa melihat dari dekat tokoh adat dan budayawan yang tampil anggun dalam balutan busana tradisional.
Prosesi dilanjutkan dengan pembacaan kitab Waruga Jagat, doa lintas iman oleh K.H. Prof. Dr. Sukriyadi Sambas, serta pertunjukan tari klasik yang memukau. Gerak penari yang lemah gemulai dengan kostum berwarna keemasan menggambarkan kemegahan kerajaan masa lampau.
“Kirab ini bukan sekadar prosesi, tapi simbol kesetiaan kita pada nilai-nilai luhur para leluhur. Mahkota Binokasih bukan hanya pusaka, melainkan jati diri,” ungkap salah satu tokoh adat dari Radya Keraton Sumedang Larang dengan mata berbinar.
Di sela prosesi, penjual es goyobod, peuyeum, dan opak juga ikut kebanjiran pembeli. Tak sedikit warga dari luar daerah yang menyempatkan diri mencicipi kuliner khas Sumedang sambil menikmati alunan musik dan pertunjukan seni.
Menjelang pukul 14.00 WIB, iring-iringan kirab resmi ditutup. Namun senyum di wajah para pengunjung belum juga luntur. Hari Jadi Sumedang ke-447 bukan hanya sebuah perayaan, tapi pernyataan: bahwa budaya lokal masih bertahan, tumbuh, dan menjadi denyut nadi masyarakat yang tak pernah padam.(Dhs/hms)