Jurnalisme.Info -Sumedang, 24 Mei 2025 — Krisis ekonomi yang melanda Indonesia kian mengkhawatirkan. Daya beli masyarakat terus merosot tajam meskipun harga kebutuhan pokok di pasaran terbilang stabil. Fenomena ini tak hanya dirasakan oleh masyarakat kelas bawah, tetapi juga telah merambah ke kelas menengah atas.
Sejumlah perkantoran kini melakukan efisiensi besar-besaran, termasuk menyewakan sebagian ruang kerja mereka demi menekan biaya operasional. Di sektor properti dan otomotif, harga rumah dan kendaraan anjlok hingga di bawah harga pasar, namun tetap sulit terjual.
"Showroom saya sekarang lebih banyak diisi kendaraan titipan. Jangankan membeli, untuk operasional sehari-hari saja sudah berat," ujar Nursalim, pemilik showroom mobil di kawasan Tangerang.
Pasar swalayan yang menjual barang non-makanan tampak lesu. Penurunan omzet membuat sejumlah gerai kesulitan bertahan. Di sisi lain, usaha makanan kecil untuk masyarakat menengah ke bawah justru meningkat pesat, menandakan perubahan pola konsumsi yang lebih hemat dan sederhana.
"Biasanya saya belanja mingguan di swalayan, tapi sekarang hanya beli kebutuhan pokok di warung terdekat. Uangnya pas-pasan, Mas," kata Siti Aisyah, ibu rumah tangga di jatinangor
"Saya sudah kurangi jajan anak-anak, sekarang cuma bisa masak seadanya. Kalau harga minyak atau beras naik sedikit lagi, saya nggak tahu harus bagaimana," ungkap Mardiyah, penjual sayur keliling di Sukasari.
Kondisi ini memicu kekhawatiran akan meningkatnya ancaman krisis pangan dan kejahatan sosial. Banyak keluarga yang berada di titik kritis ketahanan ekonomi dan gizi, sementara pekerjaan tambahan pun tak cukup untuk menutupi kebutuhan harian.
"Suami saya kerja serabutan, saya bantu jualan kue keliling. Tapi tetap nggak cukup. Kadang makan cuma dua kali sehari, yang penting anak-anak bisa makan duluan," tutur Reni Oktaviani, warga Tambora, Jakarta Barat.
Dari Sumedang, cerita serupa juga terdengar. Irwan, yang dulunya berdagang di pasar tradisional, kini terpaksa menjadi pengemudi ojek karena usahanya sepi akibat daya beli yang menurun drastis.
"Barang dagangan nggak laku, akhirnya saya jual motor satu-satunya untuk modal ojek. Sekarang pun penumpang jarang," ujarnya lirih.
Sementara itu, Dani, seorang ayah yang bekerja serabutan, mengaku kesulitan membiayai kebutuhan sehari-hari.
"Buat makan aja sudah susah, apalagi buat tebus ijazah anak. Rasanya seperti nggak punya harapan," katanya dengan mata berkaca-kaca.
Wahyudin, seorang tukang kredit keliling, kini lebih banyak menganggur karena banyak warga tak mampu membayar cicilan.
"Dulu tiap hari keliling narik setoran, sekarang malah duduk di rumah. Orang-orang lebih mikirin makan hari ini daripada bayar kredit," jelasnya.
Pemerintah diharapkan segera memperkuat program bantuan sosial seperti subsidi dan bantuan langsung tunai. Salah satu usulan yang mencuat adalah pemberian dana Makan Bergizi Gratis (MBG) secara tunai kepada orang tua siswa. Pendekatan ini dianggap lebih efektif karena langsung menggerakkan ekonomi rakyat serta menjaga asupan gizi anak-anak.
"Pemerintah harus gerak cepat. Jangan sampai masyarakat makin terpuruk karena tidak mampu beli makanan sehat untuk anak-anak mereka," ujar Dedi Gunawan, warga Tanjungsari
Dengan pengawasan ketat, program ini diharapkan mampu mencegah penyalahgunaan dan menjawab tantangan gizi masyarakat di tengah krisis. Namun, jika tidak ada langkah konkret dalam waktu dekat, stabilitas sosial dikhawatirkan akan terganggu secara serius.(Dhs)