Hari Jadi Tanpa Arti: Ketika Sumedang Merayakan, Sejarah Menyepi.

 


Jurnalisme Info,Sumedang 4 Mei 2025 – Di balik meriahnya peringatan Hari Jadi Sumedang ke-447 yang digelar tahun ini, tersimpan keresahan yang tak sedikit. Sebuah video berdurasi 34 detik yang viral di media sosial menjadi awal ledakan kritik publik. Suaranya lantang, nadanya getir. "Tidak ada Hari Jadi Kota Sumedang yang ke-447, semua palsu hanya pencitraan, hanya simbol. Para pejabat lupa diri," begitu salah satu narasinya.

Video itu memperlihatkan suasana sepi di kawasan Pasarean Gede, makam para leluhur Sumedang, termasuk Pangeran Santri Kusumah Dinata I. Tempat yang seharusnya menjadi titik refleksi sejarah, justru tampak sunyi dari sentuhan seremoni resmi. Di sinilah, sebagian warga merasa Hari Jadi Sumedang kehilangan ruhnya.

Pasarean Gede: Yang Terlupa Saat Semua Merayakan

Pasarean Gede bukan sekadar kompleks makam. Ia adalah saksi bisu perjalanan sejarah Sumedang, tempat di mana nilai-nilai leluhur ditanamkan, dan identitas kultural dibentuk. Namun, di tengah gemerlap perayaan, tempat ini justru luput dari perhatian.

"Saat Hari Jadi kemarin, kami hanya diberi ucapan ‘semangat ya bersih-bersihnya’. Tidak ada bantuan nyata, tidak ada kegiatan yang menyentuh tempat ini," ungkap salah satu pengelola makam kepada tim jurnalisme.info Ucapannya sarat kekecewaan, mencerminkan perasaan banyak pihak yang merasa peringatan ini lebih mirip panggung seremoni ketimbang penghormatan pada sejarah.

Karaton Angkat Bicara: SPBS Hanya Jadi Slogan

Kritik juga datang dari dalam lingkungan Karaton Sumedang Larang. Maha Patih Rd. Lily Djamhur Soemawilaga menyayangkan bahwa Hari Jadi Sumedang terjebak dalam simbolisme belaka. “Selama ini, Sumedang Puseur Budaya Sunda (SPBS) baru sebatas slogan. Tidak ada program nyata yang benar-benar menyentuh masyarakat,” ujarnya saat ditemui di Karaton, Desember lalu.

Ia menegaskan bahwa Hari Jadi Sumedang seharusnya merujuk pada peristiwa penting penyerahan Mahkota Binokasih dari Kerajaan Pajajaran kepada Sumedang Larang pada 21 April 1578. Peristiwa itu, menurutnya, adalah momen lahirnya kedaulatan Sumedang dan seharusnya menjadi fondasi utama dalam setiap peringatan hari jadi.

Maha Patih juga menyoroti minimnya dukungan anggaran dari pemerintah daerah dalam pengembangan budaya. Namun, menurutnya, semestinya bukan anggaran yang dijadikan alasan utama. “Butuh komitmen. Budaya adalah warisan utama Sumedang yang tidak dimiliki oleh daerah lain,” tegasnya.

Ketika Warga Bicara Lewat Media Sosial

Tak hanya tokoh budaya, masyarakat pun kini menjadikan media sosial sebagai panggung untuk bersuara. Video-video yang memperlihatkan kondisi Pasarean Gede yang lengang saat perayaan menjadi simbol dari kekecewaan kolektif. Kritik terhadap protokoler, ajudan, hingga pejabat pun bermunculan.

Sementara itu, Karaton masih berusaha menghidupkan warisan budaya dengan cara mandiri. Kegiatan seperti Muharaman, Muludan, dan Jamasan Pusaka tetap berjalan, meski tanpa sokongan pemerintah. Bahkan program Hibar Mahkota Binokasih yang bertujuan menyosialisasikan nilai-nilai budaya hingga ke desa-desa pun berjalan tanpa dukungan yang memadai.

Harapan dari Tengah Sunyi

Meski banyak suara kecewa, harapan tetap mengalir. “Mudah-mudahan tahun depan pemerintah bisa lebih memperhatikan para pelaku budaya,” harap pengelola Pasarean Gede dengan nada optimis yang penuh luka.

Di tengah gegap gempita seremoni, mungkin sudah waktunya Sumedang bertanya: Apa arti sebuah hari jadi jika leluhur dilupakan dan budaya tak dirayakan sepenuh hati?(Dhs)


Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

نموذج الاتصال